Detail Berita

inovasi-terbaik
By: Smartlitbang 2021-04-09 09:00:00

Inovasi Depok Melawan Pandemi

blog image

Di antara berbagai inovasi yang sudah dilakukan pemerintah daerah dalam menghadapi pandemi Corona virus disease 2019 atau Covid-19, kota Depok adalah salah satu yang patut kita highlight bersama. Ketika pemerintah pusat memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) lewat PP no. 21 tahun 2020, pemerintah kota (pemkot) Depok ‘menafsirkan’ langkahnya dengan membentuk aksi preventif berbasis komunitas masyarakat. Hal ini dilakukan sebelum kota Depok benar-benar siap untuk PSBB. Wali kota Depok menyebut langkah itu dengan nama Kampung Siaga Covid-19.

Kampung Siaga Covid-19 dibentuk untuk mencegah penyebaran infeksi melalui aktivasi komunitas masyarakat di tingkat Rukun Warga (RW). Aktivasi komunitas ini dimaksudkan guna merangsang partisipasi masyarakat hingga tingkat akar rumput untuk sama-sama mencegah penyebaran Covid-19 lebih luas. Pimpinan tingkat RW seperti lurah dan ketua RW di kota Depok kini dibebankan tanggung jawab yang lebih besar untuk menangani Covid-19 di lingkungannya. Terlebih pemkot Depok juga memberikan insentif sebesar tiga juta rupiah dari APBD untuk masing-masing RW yang membentuk Kampung Siaga Covid-19.
Berdasarkan instruksi wali kota Depok no. 2 tahun 2020, kegiatan Kampung Siaga Covid-19 adalah mulai dari sosialisasi pola hidup sehat dan bersih, aktivasi sistem keamanan dan informasi kesehatan, hingga membentuk lumbung logistik bagi warga. Selain itu, diharapkan semua elemen warga saling gotong royong untuk melawan pandemi.
Tidak hanya dengan membatasi mobilisasi untuk mencegah transmisi virus, melainkan juga dengan saling memberikan dukungan materiil dan non-materiil memadai bagi warga yang terpaksa berdiam diri di rumah. Dengan kata lain, masyarakat menjadi aktif, dan ini menjadi langkah persiapan yang penting dilakukan sebelum kota Depok benar-benar menerapkan PSBB.
Pentingnya Aktivasi Komunitas
Di tengah keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah, mengaktivasi warga untuk saling membantu dan berinisiatif menjadi sangat penting. Hal ini tampak disadari oleh pemkot Depok. Coba saja, berapa nilai APBD yang dimilliki kota Depok? Untuk 2020, jumlahnya hanya 2,9 triliun rupiah. Selain itu, rasio ketersediaan fasilitas kesehatan seperti Puskesmas dengan jumlah warga sendiri sangat tidak memadai. Ditambah dengan minimnya Alat Pelindung Diri (APD), tenaga kesehatan di tingkat layanan dasar ketar-ketir menghadapi pandemi yang masih belum ditemukan vaksinnya.
Dengan demikian, penanganan dari aspek preventif harus lebih galak dilakukan. Opsi lockdown yang berhasil di Cina namun gagal di Italia dan India sebagai langkah preventif tidak diambil pemerintah pusat di Indonesia. Adalah PSBB yang menjadi upaya preventif tersebut. Sebab saat ini, fokus penanganan adalah pada aspek pemutusan rantai penyebaran virus.
Persoalannya tentu saja, membatasi mobilitas berdampak pada aspek sosial-ekonomi masyarakat itu sendiri. Penurunan income untuk profesi masyarakat yang sebagian besar bekerja di sektor informal, misalnya, sangat dirasakan. Bagi para pekerja harian, berdiam diri di rumah sangat tidak mungkin dilakukan. PSBB memang tidak serta-merta menghilangkan aktivitas ekonomi warga. Tapi itu sudah cukup untuk meruntuhkan daya ekonomi masyarakat terutama mereka yang berada di posisi rentan.
Sebab itulah membatasi pergerakan masyarakat saja tidak cukup. Ada konsekuensi lanjut yang harus diantisipasi pemerintah agar masyarakat bisa tenang saat harus berdiam diri di rumah dalam waktu yang lama. Mengandalkan sumber daya finansial pemerintah rasanya tidak mungkin. Sedangkan kita tidak bisa terus menerus membebani layanan kesehatan yang kapasitasnya tidak seberapa. Jalannya adalah pemenuhan kebutuhan dasar melalui solidaritas sosial.
Sejauh ini kita punya dua potensi. Pertama gotong royong yang menjadi nilai unggul masyarakat Indonesia, dan yang kedua adalah desentralisasi dan otonomi daerah sehingga pemerintah daerah bisa berinovasi. Gotong royong yang berwujud solidaritas sosial jamak kita temui di timeline media sosial sepanjang pandemi Covid-19. Ada yang menyalurkan donasi seperti APD untuk tenaga kesehatan, gerakan membelikan makanan untuk ojek daring, maupun donasi kepada siapa pun yang terpaksa bekerja di luar rumah. Tapi pertanyaan dasarnya, dari seluruh inisiatif individual maupun lembaga non-pemerintah tersebut apakah cukup untuk memenuhi minimal kebutuhan logistik semua warga terdampak? Rasanya tidak. Swaorganisasi masih belum cukup untuk menolong semua warga yang terkena dampak hebat akibat pandemi.
Solidaritas tidaklah bermakna warga saling gotong royong tanpa peran pemerintah. Justru pemerintah harus berkolaborasi dengan masyarakat melalui aktivasi peran mereka. Di titik inilah pemerintah daerah semestinya memanfaatkan kewenangan yang dimiliki untuk berinovasi. Untuk itulah kita patut apresiasi atas inovasi yang dilakukan pemkot Depok karena telah mengaktivasi komunitas melalui pembentukan Kampung Siaga Covid-19.
Mari kita bayangkan, andai semua orang saling bahu-membahu untuk membantu hingga di tingkat RW atau kampung tertentu. Di sana ada otoritas yang ditunjuk untuk mendistribusikan pangan bagi seluruh warga di saat darurat. Bahkan setiap rumah didorong untuk memberikan donasi logistik untuk warga lain yang membutuhkan melalui satuan tugas yang ditunjuk. Warga tidak perlu keluar rumah karena kebutuhannya langsung diantarkan di depan pintu. Ini hanya dapat dilakukan jika dikelola dengan baik pada unit terkecil seperti tingkat RW.
Selain itu, informasi dan edukasi akan lebih simetris karena ada otoritas di mana masyarakat dapat memverifikasi berita soal Covid-19. Sehingga berita hoax soal Covid-19 akan mudah diminimalisasi. Solidaritas warga dapat terbangun, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah bisa semakin meningkat. Di sinilah letak keunggulan program Kampung Siaga Covid-19 yang diinisiasi pemkot Depok.
Di sisi lain, pemerintah juga hadir untuk warganya di tengah solidaritas yang tengah diaktivasi. Seperti yang dilakukan pemkot Depok dengan memberikan insentif moneter, serta pengawasan dan dukungan lainnya agar kegiatan Kampung Siaga Covid-19 berjalan efektif. Dibutuhkan kepemimpinan kolaborator di sini, yang tidak hanya pada level pemkot, melainkan juga di tingkat RW sebagai basis dari kegiatan.

Mendengar Aspirasi Komunitas
Sejenak kita beralih ke benua lain. Pengalaman outbreak virus Ebola di Afrika Barat akhir 2014 memberikan insight tentang betapa pentingnya mendengar aspirasi komunitas dalam menangani sebuah pandemi. Kasus di kota Monrovia, negara Liberia, pada mulanya pemerintah setempat ingin memberikan insentif sebesar 5 USD bagi warga yang melaporkan kasus infeksi Ebola di lingkungannya. Hal ini dilakukan agar tracing kasus penularan dapat lebih mudah dilakukan. Tapi ternyata usulan ini justru ditolak oleh masyarakat sendiri.
Hasil diskusi terfokus antara pemerintah Liberia dengan perwakilan komunitas warga Monrovia yang dilaporkan dalam jurnal The Lancet tahun 2015 menunjukkan bahwa sebagian besar perwakilan komunitas justru menolak insentif moneter tersebut. Mereka mengkhawatirkan insentif moneter justru menciptakan disrupsi sosial di masyarakat. Terlebih permasalahan sosial yang terjadi adalah stigmaisasi negatif terhadap korban suspect, meskipun negatif (tidak terinfeksi). Hal ini mengingatkan kita bahwa korban Covid-19 juga mendapatkan stigma negatif dan diperlakukan diskriminatif di negara kita, bahkan ketika para korban tidak lagi memiliki nyawa.
Ada lima usulan warga Monrovia kala itu. Pertama, menyediakan logistik bagi keluarga yang sedang dikarantina. Kedua, membentuk komunikasi yang transparan dan informatif antara pihak otoritas dengan keluarga dengan kasus infeksi virus Ebola. Ketiga, memperbaiki dan meningkatkan kualitas fasilitas layanan kesehatan dasar. Keempat, memberikan dukungan psikologis kepada keluarga dari korban terinfeksi. Kelima, melibatkan Ebola survivors dalam tim pencarian kasus dan tracing kontak di dalamnya.
Apa yang dapat kita ambil dari pengalaman Liberia saat itu? Pertama, keseluruhan usulan warga menunjukkan bahwa pemerintah tidak dapat kerja sendiri, kecuali memiliki infrastruktur dan sumber daya yang memadai. Sayangnya yang terjadi, tidak hanya di Afrika Barat, pun Indonesia mengalami hal yang serupa. Melalui Kampung Siaga Covid-19, pemkot Depok selangkah lebih maju karena melibatkan masyarakat untuk saling membantu, terutama agar meratanya distribusi logistik tanpa warga harus keluar rumah.
Kedua, adalah betapa pentingnya mendengarkan aspirasi langsung dari masyarakat. Bisa saja pemerintah daerah melakukan studi kualitatif seperti pengalaman di Monrovia untuk mengetahui gambaran riil yang sedang dibutuhkan masyarakat. Jangan-jangan ada warga yang takut melapor padahal memiliki gejala karena takut distigmaisasi? Permasalahan seperti ini tentu saja hanya diketahui oleh para relawan lapangan, yang sejauh ini mekanismenya sangat memungkinkan dengan hadirnya Kampung Siaga Covid-19. Poin yang kedua ini patut sama-sama kita tunggu tindak lanjut ke depannya.
Hingga 6 April 2020 kemarin, pemkot Depok mengklaim telah terbentuk 809 Kampung Siaga Covid-19 yang tersebar di 11 kecamatan. Pencapaian ini, jika jumlah yang diklaim benar, menunjukkan bahwa masyarakat juga memiliki antusiasme untuk turut mengantisipasi Covid-19 di lingkungan rumahnya masing-masing. Dibanding membiarkan warga berinisiatif melakukan lockdown lokal tapi justru tidak mendapat dukungan dari pemerintah sebagaimana yang terjadi di daerah lain, justru dengan mekanisme seperti Kampung Siaga Covid-19 koordinasi dalam penanganan dapat berjalan lebih harmonis.
Rasanya tidak berlebihan jika Kampung Siaga Covid-19 yang diinisasi di kota Depok menjadi role model kebijakan bagi daerah lain. Dengan budaya dan struktur sosial yang beragam di tiap-tiap daerah, justru sangat penting bagi pemerintah setempat juga ikut melibatkan warganya secara aktif sesuai kekhasan daerah yang dimiliki. Upaya seperti yang dilakukan pemkot Depok dapat menjadi alternatif yang bagus untuk memulai persiapan PSBB sebagaimana amanat PP No.21 tahun 2020.